Sabtu, 31 Januari 2015

Sekilas Heidegger


Menurut Heidegger manusia moderen tunduk kepada rutinitas, takut akan kebebasan, kemudian serta-merta menyerahkan eksistensinya kepada kekuatan di luar dirinya. Saat globalisasi menjadi jalan hidup, manusia nyaris tak lagi bisa menentukan sikapnya selain melebur menjadi satu dengan budaya pasar dan tradisi konsumsi. Masuk ke dalam jerat rutinitas, kesibukan peradaban material. Lantas apa yang hendak ditawarkan Sang Filsuf atas fenomena rutinitas manusia?
Kecemasan (Angst) nampaknya menjadi syarat utama bagi manusia untuk bisa menjaga jarak dari rutinitas. Menurut Heidegger, manusia dituntut untuk terus eksis dalam dunianya, namun sayangnya ia tak bisa menjaga jarak, terseret arus, dan tenggelam dalam waktu. Menjaga jarak dengan rutinitas maksudnya eksis secara otentik. Untuk tetap otentik manusia mesti “bergaul dengan sesuatu”, melibatkan dirinya dengan sebuah percakapan, komunikasi primordial nirbahasa yang menuntun pada sebuah keheningan. Hal-hal demikian akan menyebabkan keseharian akan nampak transparan dan bening.

Buku Erich Fromm: Lari Dari Kebebasan



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjgOoGX8DFFoNoEPFa5t-6YI4c2Okgw2Qlfwo3B0AN1wOqZt1B7LPTpz3FCRnEBY-Lz3bZLt85tca2_CwY39xEIxn2kP5KW5braojV4hI6Uj4TVrEEFRw82PlpZflOoJyRRyVcsn7F4Zqo/s320/lari+dari+kebebasan.jpgJudul: Lari dari Kebebasan
Penulis: Erich Fromm
Penerbit: Pustaka Pelajar, 1999
Tebal: 311 Halaman

Kebebasan ternyata bukan soal penting bagi manusia. Sebab, ia tak pernah ada dalam kenyataan. Kebebasan ternyata memiliki ancamannya sendiri, paling tidak menurut Erich Fromm, penulis buku ini. Dalam salah satu karya klasiknya yang berjudul asli Escape from Freedom ini (terbit pertama kali pada 1941), Fromm menelanjangi kontradiksi kebebasan manusia modern yang dianggap menjadi nilai terpenting bagi individu (Barat). Dalam kebebasan, individu ternyata justru memiliki hasrat tersembunyi untuk menanggalkan kebebasannya itu.

Kebebasan manusia modern adalah utopia berwajah ganda. Seperti yang diungkapkan Fromm, di satu sisi, kebebasan manusia modern adalah impian berabad-abad. Dengan kebebasan, manusia bisa menumbuhkan dan memiliki kekuatan, juga integrasi pribadi. Selain itu, ia pun mampu menguasai alam, mengembangkan kekuatan akal-budinya, serta menumbuhkan solidaritas dengan sesamanya.

Namun, di sisi lain, kebebasan individu melahirkan keterasingan dan ketidakamanan (hlm. 35). Juga keraguan terhadap peran seseorang dalam semesta, makna hidup, yang ujung-ujungnya melahirkan perasaan ketidakberdayaan dan ketidakbermaknaan diri sebagai seorang individu. Realitas terakhir inilah yang menjadikan manusia lari atau mengelak dari kebebasannya.

Pada dasarnya, pelarian manusia dari kebebasan itu merupakan jalan penyelamatan dari kondisi ketidakamanan dan ketidakberartian. Sebab, manusia secara natural menginginkan hubungan akrab dengan dunia di luar dirinya. Suatu keterasingan dan kesendirian akan melahirkan disintegrasi mental, sebagaimana penderitaan fisik akan mengantarkan manusia pada kematian (hlm. 17).

Ekonomi Kapitalisme
Terpecahnya kepribadian manusia modern adalah kunci pelarian individu dari kebebasan. Keterpecahan ini, oleh Fromm, dilacak penyebabnya pada perubahan kepribadian manusia yang muncul bersamaan dengan berkembangnya ekonomi kapitalisme. Ekonomi kapitalisme memiliki ciri yang menekankan aktivitas individualistik (hlm. 112). Dengan demikian, individu dituntut untuk menentukan nasibnya sendiri. Keberhasilan atau kegagalan dari apa dan bagaimana cara ia melakukan itu adalah urusan individu sendiri semata.

Karakter ekonomi kapitalisme ini berperan dalam proses isolasi dan pemisahan individu dari sesamanya. Dalam sistem kapitalisme, posisi manusia tak lebih dari sekadar alat produksi yang egois dan mementingkan diri sendiri. Sebagai alat produksi, manusia dimanfaatkan untuk mengejar tujuan-tujuan (ekonomi) yang ditentukan dan berada di luar jangkauan dirinya (hlm. 117). Tujuan itu sendiri bersifat abstrak, seperti akumulasi modal, efisiensi, dan peningkatan produksi.

Pengepungan berbagai nilai abstrak yang memaksa dan mendikte itu menjadikan individu kehilangan makna konkret pribadinya. Ia kehilangan spontanitas dan keakraban dunia sosialnya. Hubungan sosial menjadi bersifat instrumental dan didorong semata-mata oleh kepentingan. Tidak hanya itu. Kehilangan visi individu dalam memahami realitas ekonomi dan politik yang abstrak rupanya menambah perasaan ketidakberdayaan individu itu sendiri. Begitu pula berbagai ancaman dunia modern, seperti perang, kelaparan, pengangguran dan kejahatan, semakin membuat manusia tidak aman dan tidak berdaya (hlm. 135).

Ketidakbermaknaan dan ketidakberdayaan mengubah sistem besar yang melingkupinya, menjadikan individu merasa kecil dan tak berarti. Pada titik ini, individu modern haus akan ilusi kebebasan yang tidak saja memberikan ruang bagi inisiatif dan tanggung jawab pribadi, tapi sekaligus membuatnya punya arti. Namun, ilusi itu tentu tak pernah kunjung terwujud.

Maka, demikian Fromm mengurutkan argumentasinya, individu modern lebih memilih mengelakkan kebebasan untuk sebuah ilusi yang bisa memberinya makna. Bentuk pelarian diri yang diuraikan Fromm adalah otoritarisme, destruktivitas, dan penyesuaian diri otomatis. Individu melakukan otoritarisme karena ia berusaha menggantikan rasa ketidakberdayaannya dalam upaya mnguasai orang lain. Usaha ini melahirkan mekanisme kedua, yaitu destruktivitas pada dunia luar.

Ilusi
Namun, dengan begitu, ia paling tidak, merasa mampu mengalahkan sumber ketidakberdayaannya tersebut. Di sisi lain, identifikasi yang otomatis terhadap dunia luar mengindikasikan bahwa ia tak menganggap dunia luar sebagai ancaman (hlm. 189). Ketiga mekanisme pelarian diri ini memiliki tujuan yang sama, yakni membuat individu memiliki arti bagi eksistensinya di dunia abstrak kapitalisme. Dan serentak juga menghindarkan perasaan tak berdaya, tak berarti, dan kesepian yang timbul karena kebebasan diri.

Dalam konstruksi dunia psikologis model Fromm-ian ini, kata yang berhubungan dengan kebebasan terasa absurd. Kebebasan (atau demokrasi) ternyata bukan soal yang paling penting di dunia manusia. Dan barangkali manusia memang bukan makhluk yang paling butuh kebebasan. Karena konsep manusia yang menuntut kebebasan individu, atau apapun simbolnya, hanya sebuah konstruksi teoretis--dengan kata lain, sebuah ilusi.

Dalam arti primordial, kebebasan lebih terasa sederhana. Apabila manusia sadar bahwa kebebasan membutuhkan berbagai perangkat yang menjadikan kebebasan itu leluasa digerakkan, ilusi untuk menciptakan pelarian tentu tak perlu. Sebab, kebebasan mutlak--juga pelarian mutlak--tidak pernah betul-betul terjadi dalam kenyataan. Di tengahnya, manusia hanyalah makhluk yang tidak pernah bebas dan tak pernah pula tidak bebas.

Minggu, 06 April 2014

Eksistensialisme Nietzsche



Pemikiran Friedrich Nietzsche yang pertama adalah mengenai hidup, bahwa hidup itu adalah sebuah penderitaan. Nietzsche menjelaskan bahwa dalam menghadapi penderitaan kita harus menggunakan seni.
“kiranya aku tahu benar mengapa hanya manusia satu-satunya makhluk yang tertawa ; dia satu-satunya yang menderita begitu dalam, hingga harus menemukan tawa” begitulah kata Nietzsche.
Pemikiran Nietzsche yang lain adalah mengenai prinsip dalam kehidupan. Disebutkan bahwa manusia harus membuat hukum untuk diri sendiri (bertujuan agar manusia dapat menjadi majikan atas dirinya) dan tidak melawan realitas. Jika manusia melawan realitas maka kehidupannya akan menderita karena terkadang manusia memiliki keinginan yang berlawanan dengan realitas. Apabila keinginan itu terus dipaksakan maka ia harus melawan realitas. Sedangkan menurut Nietzsche, melawan realitas adalah sia-sia sehingga lebih baik manusia hidup apa adanya dengan lapang dada.
“ Eksistensialisme Nietzsche pada dasarnya adalah menempatkan manusia sebagai sosok yang menempati posisi khusus dalam tatanan kosmos “

Sabtu, 05 April 2014

Senyum Wanita Kapitalis



Tebar senyum mengandung dua makna yang cukup sulit untuk menginterpretasikannya yaitu apakah sebuah senyum pelecehan ataukah sebuah senyum hanya sebatas menghargai atau merespon orang disekitarnya saja. Realitas membuktikan bahwa jika senyum itu datang dari kaum wanita maka dapat ditarik kesimpulan pernyataan diatas bisa benar. Karena tidak jarang ketika kaum wanita disapa terkadang tebar senyum atau tebar cuek.
Jika wanita itu tebar senyum tatkala disapa maka bagi kaum lelaki sedikit bahagia dan sedikit kecewa, jika kaum lelaki itu mampu berfikir sejenak akan senyum itu. Dan jika kaum wanita disapa dan merespon cuek, nah ini adalah persoalan dan permasalahan besar bagi wanita. Karena kaum lelaki akan berfikir dan tanpa memilih entah kaum lelaki yang bodoh atau pintar-pun akan beranggapan dalam nalurinya sebuah pertanyaan “cuek-nya itu tidak suka apa ingin lebih didekati?”. Maka jika ada kaum wanita tebar cuek membuat kaum lelaki akan terus berfikir dan bisa-bisa terus mengejarnya (malu tapi mau).
Berhubungan dengan senyum wanita yang mengandung dua makna, pelecehan atau sikap menghargai saja. Kebanyakan respon kaum lelaki merasa dirinya terlecehkan walaupun  wanita itu tersenyum dengan manis dan semanis mungkin atau dia memang cantik dan bertambah cantik dengan senyumnya. Sehingga definisi atau kesimpulan akhir menyatakan bahwa senyum itu hanyalah “senyum bohong” (tanpa alasan ataupun dengan alasan). Jika diatarik ke teorinya Karl Marx[1] kaum lelaki dengan tanpa sadar telah memakai “kesadaran palsu”, sehingga bisa dimanfaatkan oleh kaum wanita pemilik modal (kapitalis) senyum-senyum palsu.
Bagi kaum lelaki yang telah terkonstruk oleh kaum wanita kapitalis[2] saran Karl Marx bagi kaum lelaki (sebagai kaum yang tertindas) adalah harus menyadari ketertindasannya oleh kaum wanita kapitalis, agar bentuk penindasan secara psikis itu tidak berlama-lama menaungi akal ataupun angan kaum lelaki. Dengan penyadaran itu maka kaum lelaki akan selamat dan akan berhati-hati dalam memilih sebuah pilihan atas kebebasannya (Jean-Paul Sartre)[3].



[1] Filsuf Jerman yang tidak mau dirinya diianggap sebagai tokoh sosialis. Akan tetapi Sidney Hook mengatakan bahwa Karl Marx adalah tokoh revolusioner.
[2] Pemilik modal (senyum-senyum bohong).
[3] Filsuf ber-aliran eksistensialisme dari Paris. Filsuf yang mendewa-dewakan kebebasan dalam menjalani hidup.

“Mengkorelasikan Pemikiran Heraklitos Dan Parmenidas Kepada Cinta Dan Perasaan”



Dunia terasi stagnan bila tak hadirnya cinta yang penuh misteri ini, dan apa daya jika manusia tak dihadiri olehnya. Karena manusia adalah makhluk yang dikatakan sempurna daripada makhluk lainnya, namun belumlah dapat dikatakan semurna apabila ia belum merasakan sentuhan cinta dalam hidupnya. Begitu Esa Tuhan dalam melengkapi manusia dengan kasih sayangnya, sehingga manusia juga merasakan apa yang Tuhan berikan dan juga nantinya manusia akan mempraktekkan kasih sayang yang telah Tuhan berikan padanya.
Cinta tak ubahnya bagai api yang selalu menyala-nyala, tak ubahnya membuat sesuatu menjadi berubah walau terkadang sirna (Heraklitos). Cinta tak ubahnya membuat insan ingin selalu tetap merasakan sesuatu yang tetap membuatnya bahagia, senang dan sedih, duka serta cita. Suka ada, duka ada (Parmenides).
Cinta adalah sebuah kata yang banyak interpretasi dan bahkan banyak insan yang sibuk dan kebingungan dalam menginterpretasikan cinta seperti yang dikatakan oleh Imam al-Ghazali meggunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan. Namun tidak bagi saya, cinta adalah sebuah ciptaan Tuhan yang bersifat metafisik dan penuh misteri dimana ketika insan tertimpa cinta akan merasakan sesuatu yang berbeda dalam hidupnya, walaupun terkadang ia tak merasakan bahwa dirinya terlanda.
Namun bagaimana jika cinta kita relasikan kepada buah pemikiran seorang filsuf Yunani yaitu Heraklitos dan Parmenides, dimana Heraklitos berpendapat bahwa kita tidak akan bisa terjun atau jatuh kepada air yang pertama kali kita jatuh kesana (relatif), berbeda dengan Parmenides yang berpendapat bahwa yang ada itu ada dan yang tidak ada itu tidak ada (statis).
Perasaan cinta jika ditinjau dari segi perspektif pemikiran Heraklitos, maka kita akan menjadi play boy atu play girl, namun sebaliknya jika kita tinjau dari perspektif pemikiran Parmenides maka kita akan tetap setia dan tak akan mencari mangsa (bahasa kasarnya).
Namun ada seorang insan yang merasakan dua hal tersebut dimana ketika ia telah meninggalkan yang pertama dan pindah kepada yang kedua, dan dalam waktu sebentar atau lama ia merasa ingin sekali kembali kepada yang pertama maka inilah konsep pemikiran filsuf kedua tersebut terjadi. Bagian pertama adalah teori Heraklitos yaitu tidak bisa bersama dengan orang yang pertama akan tetapi harus menerima yang kedua dan bagian yang kedua adalah teori Parmenides dimana insan tersebut tidak bisa dengan yang kedua namun harus kembali kepada yang pertama bahwa yang pertama adalah yang pertama dan yang kedua adalah yang kedua.

By: Orang kamar.