Biografi
Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir
pada 15 Oktober 1844 di Rocken Sebuah kampng kecil yang berada di deket Lutzen
sebelah barat daya Leizpig, Prusia, Jerman. Bertepatan atau sama dengan hari
kelahiran raja Prusia Friedrich Wilhelm IV, Oleh karenanya ia diberi nama yang
sama[1].
Nietzsche dilahirkan ditengah-tengah
keluarga yang saleh. Kakeknya Friedrich August Ludwig (1756-1862), adalah
pejabat tinggi dalam gereja Lutheran yang dapat disejajarkan dengan seorang
uskup dalam gereja katolik. Ayahnya Carl Ludwig Nietzsche (1813-149), adalah seorang pendeta di desa Rocken.
Sedangkan ibunya Franzizka Oehler (1826-1897), juga seorang Lutheran dan
berasal dari keluarga pendeta. Maka tidak mengherankan jika keluarga Nietzsche
sangat terkenal dengan ketaaannya[2].
Dalam perjalanan akademisnya ia
banyak berkenalan dengan orang-orang besar yang kelak akan banyak memberikan
pengaruh terhadap pemikirannya, seperti Scopenhauer, Johan Goethe, Richard
Wagner, dan Fredrich Ritschl. Karir akademis bergengsi yang pernah didudukinya
ialah menjadi profesor filologi di Basel
University, yang ia dapatkan ketika ia berusia dua puluh tahun. Ketika
kesehatannya mulai memburuk, ia melepaskan jabatannya ini. Ia mengembara
ketempat yang tenang untuk menyelesaikan karyanya.
Menjelang akhir hidupnya ia dirawat
dirumah sakit jiwa. Setelah ibunya meninggal, Nietzsche dirawat oleh saudaranya
Elizabeth. Elizabeth sangat sedih dan perihatin melihat kondisi Nietzsche.
Bahkan Nietzsche pada saat itu tidak tahu kalau ibunya telah meninggal dan juga
tidak tahu bahwa dia menjadi termasyhur[3].
Nietzsche meninggal pada 25 Agustus 1900 di Weimar.
Pemikiran
Pemikiran Nietzsche dipengaruhi oleh
Scopenhauer (1788-1860), dengan karyanya berjudul “The World as Will and Ideas”
1819, yang dibelinya di toko buku bekas.
Tokoh lainnya adalah Friedrich Albert Lange (1828-1875), Materialisme
dan Kritik Maknanya pada Zaman Sekarang (1866). Kedua karya tokoh tersebut
sebenarnya bertentangan sau sama lain. Adapun pemikirannya Nietzsche
diantaranya:
1. Nihilisme
Nihilisme
adalah suatu paham aliran filsafat, kata kerjanya adalah Annihilate, meniadakan, membasmi, memusnahkan, menghapuskan,
melenyapkan segala eksistensi.
Nihilisme adalah sebuah pandangan
filosofis yang sering dihubungkan dengan Friedrich Nietzsche yang mengatakan
bahwa dunia ini, terutama manusia di dunia ini tidak memiliki suatu tujuan.
Dalam medan konsep pemikiran Nietzsche, nihilisme merupakan syarat untuk
menjamin orisinalitas dalam berfikir dan berkreasi, sehingga ia benar-benar bermakna. Istilah
nihilisme pertama kali diperkenalkan oleh Ivan Turgenev dan diperkenalkan ke
dunia filosofi oleh Friedrich Heinrich Jacobi (1743-1819).
Nihilisme sebagai runtuhnya seluruh
nilai dan makna meliputi seluruh bidang kehidupan manusia. Seluruhbidang ini
dapat dibagi menjadi dua: yaitu, keagamaan (termasuk moral) dan ilmu
pengetahuan. Runtuhnya dua bidang ini membuat manusia kehilangan jaminan dan
pegangan untuk memahami hidupnya, termasuk aku-nya.
Singkatnya nihlisme mengantarkan manusia pada situasi kritis atau kepada hari
yang menjadi “malam terus menerus”, karena seluruh kepastiannya runtuh[4].
Nietzsche memaklumkan situasi ini dengan
berteriak-teriak: Tuhan sudah mati! Kita telah membunuhnya. Ucapan yang
kemudian menjadi termasyhur ini dipakai Nietzsche untuk mengawali perang
melawan setiap bentuk jaminan kepastian yang sudah mulai pudar. Jaminan
kepastian yangpertama adalah Tuhan sebagaimana diwariskan oleh agama Kristen.
Dan jaminan-jaminan kepastian lainny, menurut Nietzsche adalah model—model
Tuhan seperti ilmu pegetahuan, prinsip-prinsip logika, rasio, sejarah kemajuan
(progress). Untuk merumuskan
runtuhnya dua macam jaminan kepastian itu Nietzsche cukup mengatakan dengan
kalimat “Tuhan telah mati”. Dengan kata lain, paradigma seluruh krisis adalah
“Tuhan sudah mati[5].
Menurut Nietzsche, dalam situasi ini
tugas suatu pemikiran bukanlah menyerah pada nihilisme pasif yang merupakan
hasil dari pemikiran bahwa kini interpretasi moral mengenai dunia sudah
berakhir. Tugas pemikiran adalah mengembangkan nihilisme aktif yang ironis
sekaligus kreatif, yang merumuskan nilai-nilai baru dan melipatgandakan
interpretasi-interpretasi baru. Nietzsche adalah pemikir tentang pelbagai
akhir, dan hal ini seharusnya dipahami, terutama dan pertama-tama, sebagai
akhir dari interpretasi-duniawi Kristen beserta seluruh kaitan sosial, psikis
dan filosofisnya-pun perlu ditambahkan bahwa Nietszhe, lewat pandangannya tentang
interpretasi dan dunia yang berlangsung abadi, merupakan pemikir tentang
cakrawala dunia yang tanpa batas akhir[6].
2. Kehendak untuk berkuasa
Dalam
bukunya Beyond Good and Evil
Nietzsche menyebutkan bahwa hakikat dunia adalah kehendak untuk berkuasa. Dalam
The Genealogy af Morals dikatakan
bahwa hakikat hidup adalah kehendak untuk berkuasa. Lagi, dalam The Will to Power ia menyebutkan bahwa
hakikat terdalam dari ada (being)
adalah kehendak untuk berkuasa[7].
Singkatnya, kehendak untuk berkuasa adalah hakikat dari dunia, hidup dan ada.
Kehendak untuk berkuasa adalah hakikat dari segala-galanya. Kehendak untuk
berkuasa, Nietzsche tidak bermaksud mengajukan provokasi politik.
Kehendak untuk berkuasa adalah titik
pusat dari filsafat Nietzsche. Dalam buku Aporisma-nya, ia menemukan kehendak
untuk berkuasa, berkarya dalam segala tingkah laku dan penilaian manusia. Dalam
Zarathustra, ia mengungkapkan bahwa kehendak untuk berkuasa merupakan motif
dasar dan menegaskan bahwa kehendak itu terdapat pada semua makhluk hidup[8].
Kalau kehendak untuk berkuasa
merupakan hakikat dari dunia, hidup dan ada, ini berarti bahwa dasar dari
segala sesuatu merupakan dinamisme yang masih berada dalam situasi khaos.
Nietzsche menyimpulkan bahwa kemanusian didorong oleh suatu kehendak untuk
berkuasa. Semua tindakan kita berasal dari kehendak ini.
3. Ubermensch
Dilihat dari bahasanya, uber pada
ubermensch dapat diartikan sebagai : sangat terlalu baik (over-goodness),
terlalu sangat penuh (over-fullness), abadi (over-time), di atas
jenis (over-kind), berlebihan (over-wealth), di atas pahlawan (over-hero),
mabuk (over-drink). Manusia adalah sesuatu yang harus dilampaui, manusia yang
mengatasi dirinya dan berkedudukan sebagai manusia unggul[9].
Uber
pada Ubermensch mempunyai peran yang
menentukan dalam membentuk keseluruhan makna ubermensch, dimana
penekanan penting di sini ada pada kehendak untuk berkuasa sebagai semangat
untuk mengatasi atau motif-motif untuk mengatasi diri[10].
Kata Ubermensch
apabila diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dalah superman atau manusia super.
Istilah ini berarti tingkat kemanusiaan yang jauh lebih tinggi daripada
tinggkat kemanusiaan yang ada, dan menjadi tumpuan akhir cita-cita dan tujuan
evolusi[11].
Akan tetapi seorang komentator Nietzsche, Walter Kaufman menerjemahkannya
menjadi overman atau manusia atas[12].
Dengan konsep ini, dia sedang berbicara dan berharap mengenai masa depan dan
meramal manusia masa depan. Ajaran Nietzsche tentang Ubermensch diperkenalkan
lewat mulut tokoh Zarathustra[13]
yang merupakan pembukaan dari bukunya Also Sprach Zarathustra. Bagi Nietzsche,
kebutuhan orang yang paling mendesak adalah soal pemaknaan. Dia melihat bahwa
nilai-nilai yang diwariskan oleh kebudayaan Barat sampai pada saat itu telah
runtuh disebabkan oleh jaminan-jaminan yang dianggap seolah-olah telah ada,
oleh karena itu melalui tokoh Zarathustra ia mengajarkan nilai tanpa jaminan
kepada semua orang dan nilai ini tidak lain adalah Ubermensch. Maka Ubermensch
adalah cara manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri tanpa berpaling dari
dunia dan menengok keseberang dunia[14].
Ajaran tentang Ubermensch mempunyai
hubungan dengan konsep semangat untuk berkuasa. Makna terbesar dunia bagi
Nietzsche terletak pada Ubermensch dan untuk mencapai makna terbesar itu, orang
harus selalu menjadi jembatan menuju Ubermensch. Orang akan menjadi jembatan
menuju Ubermensch apabila seluruh hidupnya dijiwai semangat untuk berkuasa. Ini
berarti bahwa orang harus selalu siap mengatasi naluri-naluri kebinatangannya
dan mengatur hidupnya sedemikian rupa sehingga dia terus menerus mendapatkan
pengalaman akan bertambahnya kekuasaan.
4. Tuhan telah mati
Nietzsche
adalah filsuf unik yang berpikir secara unik dan menyampaikannya secara unik
pula. Keunikannyalah yang membuat dia menjadi begitu istimewa bagi dunia
filsafat. Pemikirannya tak pernah dapat dilepaskan dari latar belakang
kehidupannya. Bahkan, tanpa ragu-ragu dia banyak bercerita tentang kehidupannya
di dalam tulisannya. Selain itu, cara penyampaian filsafatnya yang menggunakan
teknik sastra menjadi hal yang baru di dalam dunia filsafat yang selama ini
selalu memakai obyektivitas dan kebakuann bahasa sebagai hal yang utama. Bagi
Nietzsche kebenaran yang bersifat jamak hanya bisa tersampaikan lewat sastra.
Artinya, penafsiran akan suatu kebenaran akan selalu plural tidak pernah
tunggal.
Dengan mengutip seluruh aforismenya
Nietzsche yang berjudul “Orang Gila”.
Dibawah ini kita akan menemukan kegilaan Nietzsche. Di dalam ceritanya,
seseorang yang gila datang ke sebuah kerumunan dan berteriak-teriak mengenai
kematian Tuhan.
Inilah kisah panjang bagaimana Nietzsche
harus memaklumkan kematiaan Tuhan pada khalayak orang-orang yang masih
menggenggam keyakinan mereka akan Tuhan. Tepatlah jika Nietzsche memberi judul
aforisme ini degan Orang Gila.
Kegilaan ini tidak hanya terasa dari kontras antara sikap Nietzsche dengan
khalayak. Kegilaan juga tampak dalam kontras antara sikap baru Nietzsche sang
pembunuh Tuhan dan sikap lama Nietzsche sang calon pendeta yang sangat
religius. Orang yang membunuh Tuhan ini adalah orang yang pada masa remajanya
pernah berlutut khidmat di depan altar untuk menerima sakramen-sakramen dari
Gereja. Salah satu Perilaku saleh[15].
Tidakkah kamu
telah mendengar seorang gila yang menyalakan lentera di pagi hari yang cerah,
berlari menuju tempat kerumunan, dan terus-menerus berteriak: “ Aku mencari
Tuhan! Aku mencari Tuhan!” Ketika banyak orang yang tidak percaya pada Tuhan
berdiri di sekelilingnya kemudian, dia mengundang gelak tawa. Apakah dia orang
yang hilang? Tanya seseorang. Apakah dia telah tersesat seperti anak kecil?
Tanya yang lainnya. Atau dia sedang bersembunyi? Apakah dia takut pada kita?
Apakah dia orang yang baru saja mengadakan pelayaran? Seorang perantau? Maka
mereka saling bertanya sinis dan tertawa.
Orang gila itu
melompat ke tengah kerumunan dan menatap mereka dengan mata tajam. “Ke mana
Tuhan?” dia berteriak: “Aku akan menceritakan pada kalian, Kita telah
MembunhNya Kalian dan aku. Kita semua adalah
pembunuhnya Tuhan sudah mati. Tuhan terus mati”
“aku telah
datang terlalu awal.” Dia kemudian mengatakan: “waktuku belum datang. Peristiwa
besar ini masuh terus berjalan, masih berkeliaran; ini belum mencapai
telinga-teling manusia”
Telah diceritakan
lebih lanjut pada hari yang sama orang gila itu memaksa masuk ke dalam beberapa
gereja dan di sana menyanyikan requiem aeternam Deo[16]
(Istirahat kekal bagi Tuhan). Setelah keluar dan diminta pertanggung jawaban,
dia hanya selalu menangkis dan berkata, “apalagi gereja-gereja ini kalu bukan
makam dan nisan-nisan bagi Tuhan?
Nietzsche
menghendaki revolusi dan rekonstruk besar-besaran terhadap nilai yang ada.
Revolusi ini sampai pada klimaks-nya ketika ia si orang gila berteriak bahwa
Tuhan telah mati dan kita semua sebagai pembunuhnya kepada orang-orang yang
dianggapnya atheis yang sudah tidak mempecayai Tuhan apapun. Bukan berarti
Nietsche sama sekali mengngkari keberadaan Tuhan, “ocehan” ini hanya sebatas
“letusan” emosional dari revolusi nilai baru yang diinginkan Nietzsche. Ketika
Tuhan telah mati, lantas bagaimana kita menyusun ulang kekosongan nilai kita?
disinilah muncul sang pahlawan yang dinanti-nanti yaitu Ubermensch[17].
5. Kembalinya segala sesuatu
Eternal Recurrence (Kembalinya Yang Sama secara Abadi-Die
ewige wiederkehr des Gleichen). Konsep ini diambil oleh Nietzsche dari
salah sebuah pemikiran tokoh Yunani Kuno; Heraiklitos. Ajarannya adalah dimana
dunia ini dengan segala kebaikan dan keburukannya, keluhuran dan kenistaannya,
keagungan dan kekerdilannya, akan hancur dan kemudian akan muncul kembali
dengan segala detailnya secara persis sama berkali-kali hingga tak berhingga.
Hal ini bagi Nietzsche agak ‘menjijikkan’; karena orang yang paling rendah,
termasuk dirinya sendiri akan muncul kembali dalam dunia yang sama[18].
Teori
ini amat erat kaitannya dengan penolakan Nietzsche terhadap kenyataan
transenden yang melampaui dunia ini. Dunia ini, senantiasa menjadi, dan tak ada
suatu ada yang berada di luar peroses itu sebagai tujuannya. Misalnya, konsep
monoteisme Tuhan. Dunia ini senantiasa menjadi (Werden), dan itak ada
suatu ada (Sein) yang berada di luar proses sebagai tujuannya. Yang
secara abadi kembali adalah ‘yang sama’ dan hal ini sekurangnya memiliki dua
arti. Pertama, tidak ada Allah pencipta, tidak ada Sein yang kreatif di
luar dunia ini. karena itulah segalanya “kembali”. Secara sama. Ide tentang
peristiwa untuk tajk terulangi, di hadapan Nietzsche, tak kurang dari pengakuan
diam-diam terhadap ide Allah pencipta. Kedua, tidak ada kebakaan pribadi yang
melampaui dunia ini (surga, neraka). Mereka abadi dalam kembalinya secara terus
menerus. Segala sesuatu adalah imanensi belaka, dan manusia atas adalah
“Pengata-Ya” (Ja-Sager) yang berani dengan suka cita menerima dunia ini
apa adanya, tanpa melarikan diri pada dunia transenden. Akhirnya, dengan
penolakan kerasnya pada transendensi, teori ini juga merupakan sebuah atiesme
radikal dari pihak Nietzsche.
6. Nietzsche dan pengaruhnya
Nietzsche telah banyak mengilhami para
filsuf Barat untuk melakukan kritik terhadap perkembangan kebudayaan Barat dan
asumsi-asumsinya. Dikalangan para filsuf Jerman, Martn Hedegger merupakan flsuf
pertama yang mengkaji pemikiran Netzsche secara sistematis. Tulisannya tentang
Nietzsche masih menjadi bahan kajian dikalangan para post-strukturalis dan
post-modernis. Filsuf Jerman lainnya yang mencari ilham dari Nietzsche adalah
Karl Jaspers.
Gema paling kuat bergaung di
Prancis, di mana katolikisme mengakar paling kuat. Di sana Nietzsche menjadi
sangat populer dikalangan kaum muda yang dikenal sangat sinis terhadap agama.
Dia tampil sebagai simbol pemberontakan terhadap berbagai kemapanan dogmatis
terutama dogmatisme keagamaan, sedangkan dikalangan para filsuf, pengaruh
pemberontakannya tampak jelas dikalangan filsuf eksistensialis seperti Albert
Camus dan Jean Paul Sartre. Dua pemikir kontemporer Prancis yang menjadi
penafsir utama pemikiran Nietzsvhe adalah Michel Foucault dan Jacques Derrida
yang sering dihubungkan dengan post-strukturalismme, post-modernisme.
Disamping para filsuf Barat,
Nietzsche juga megilhami seoang filsuf penyair muslim yang menjadi pengagum
sekaligus pengkritik Nietzsche. Dia adalah Muhammad Iqbal.
7. Alasan dalam pemilihan tokoh
Menurut saya, Nietzsche
adalah sosok yang begitu dalam dan sepektakuler bagi diri saya. Selain
Nietzsche berasal dari keluarga yang penuh dengan ketaatan, Nietsche mampu
berbeda dan bahkan perbedaannya sangat jauh yang membuatnya jauh sekali dari
apa yang diharapkan keluarganya. Ketertarikan saya terhadap filsuf ini adalah
dengan buah pemikirannya tentang Ubermensch, di mana Nietzsche mengatakan
“beranilah berkata ia pada hidup yang penuh chaos ini” .
Rasa kagum saya terhadap filsuf ini
begitu luar biasa meskipun para filsuf lainnya juga hebat dalam berfikir.
Nietzsche bagi saya sudah dianggap sebagai guru dan yang telah mempengaruhi
hidup saya selama ini, yaitu bangkit dari hidup yang penuh dengan ketakukatan
menuju keberanian untuk menghadapi semuanya. Karena yang paling mengesankan
dalam hidup Nietzsche adalah tak pernah menyerah dalam berfikir sehingga dalam
hidupnya sering berkontemplasi, yang paling mengerikan dan membuat semangat
diri saya adalah dia terus berfikir yang pada akhirnya dia menderita penyakit
jiwa selama 11 tahun. Sehingga di saat karya dan namanya sudah termasyhur dia
tidak tahu dan saat ibunya meninggal-pun ia juga tidak tahu apa-apa lagi.
Daftar
Pustaka
Murtiningsih, Wahyu. 2012. Para Filsuf dari Plato Sampai Ibnu Bajjah.
Jogjakarta. IRCiSod
Sunardi, St. 1996. Nietzsche. Yogyakarta. LKis
Beilharz, Peter. 2005. Teori-teori Sosial Observasi Kritis Terhadap
Para Pilosof Terkemuka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bagus, Loren. 2005. Kamus Filsafat.. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Neusch, Marcel. 2004. “Friedrich Netzsche (1844-1900); Lawan
Tangguh Kristiani” dalam Damanhuri
Fattah (ed.) 10 Filsuf Pemberontak Tuhan.
Yogyakarta. Panta Rhei Books
Hardiman, F. Budi. 2007. Filsafat Barat Modern. Jakarta: PT
Gramedia.
[1] Wahyu Murtiningsih. Para Filsuf dari Plato Sampai Ibnu Bajjah.
Hlm. 165-166
[2] Ibid,..
[3] St. Sunardi. Nietzsche.
Hlm. 17
[4] Ibid,..
[5] Ibid,.. 35-36
[6]
Peter Beilharz. Teori-teori Sosial
Observasi Kritis Terhadap Para Pilosof Terkemuka. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005. Hlm. 288.
[7] If the innermost essence of being is will to power, if pleasure is
every increase of power, displeasure every feeling of not being able to resist
or dominate; may we not then posit pleasure and displeasure as carninal facts?
693
[8] Kaufman, 1967: 510
[9] Kaufmann, 1950:272
[10] Sunardi, 1999:93
[11]
Loren Bagus. Kamus Filsafat. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. 2005. Hlm. 1056
[12] F.Budi Hardiman, Op.cit,
hal: 274
[13] Zarathustra di sini
adalah Zarathustra versi Nietzsche dan bukan Zarathustra (Soroaster) historis
yang hidup di Persia 2500 tahun yang lalu.
[14] St. Sunardi, Op.cit,
Hlm. 143-144
[15] St. Sunardi, Op.cit,
Hlm. 39
[16] Marcel Neusch , “Friedrich Netzsche (1844-1900); Lawan
Tangguh Kristiani” dalam Damanhuri
Fattah (ed.) 10 Filsuf Pemberontak Tuhan, Panta Rhei Books, Yogyakarta, 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar