Kamis, 02 Januari 2014

Friedrich Wilhelm Nietzsche

Biografi
            Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir pada 15 Oktober 1844 di Rocken Sebuah kampng kecil yang berada di deket Lutzen sebelah barat daya Leizpig, Prusia, Jerman. Bertepatan atau sama dengan hari kelahiran raja Prusia Friedrich Wilhelm IV, Oleh karenanya ia diberi nama yang sama[1].
            Nietzsche dilahirkan ditengah-tengah keluarga yang saleh. Kakeknya Friedrich August Ludwig (1756-1862), adalah pejabat tinggi dalam gereja Lutheran yang dapat disejajarkan dengan seorang uskup dalam gereja katolik. Ayahnya Carl Ludwig Nietzsche (1813-149),  adalah seorang pendeta di desa Rocken. Sedangkan ibunya Franzizka Oehler (1826-1897), juga seorang Lutheran dan berasal dari keluarga pendeta. Maka tidak mengherankan jika keluarga Nietzsche sangat terkenal dengan ketaaannya[2].
            Dalam perjalanan akademisnya ia banyak berkenalan dengan orang-orang besar yang kelak akan banyak memberikan pengaruh terhadap pemikirannya, seperti Scopenhauer, Johan Goethe, Richard Wagner, dan Fredrich Ritschl. Karir akademis bergengsi yang pernah didudukinya ialah  menjadi profesor filologi di Basel University, yang ia dapatkan ketika ia berusia dua puluh tahun. Ketika kesehatannya mulai memburuk, ia melepaskan jabatannya ini. Ia mengembara ketempat yang tenang untuk menyelesaikan karyanya.
            Menjelang akhir hidupnya ia dirawat dirumah sakit jiwa. Setelah ibunya meninggal, Nietzsche dirawat oleh saudaranya Elizabeth. Elizabeth sangat sedih dan perihatin melihat kondisi Nietzsche. Bahkan Nietzsche pada saat itu tidak tahu kalau ibunya telah meninggal dan juga tidak tahu bahwa dia menjadi termasyhur[3]. Nietzsche meninggal pada 25 Agustus 1900 di Weimar.
Pemikiran
            Pemikiran Nietzsche dipengaruhi oleh Scopenhauer (1788-1860), dengan karyanya berjudul “The World as Will and Ideas” 1819, yang dibelinya di toko buku bekas.  Tokoh lainnya adalah Friedrich Albert Lange (1828-1875), Materialisme dan Kritik Maknanya pada Zaman Sekarang (1866). Kedua karya tokoh tersebut sebenarnya bertentangan sau sama lain. Adapun pemikirannya Nietzsche diantaranya:
1.      Nihilisme
Nihilisme adalah suatu paham aliran filsafat, kata kerjanya adalah Annihilate, meniadakan, membasmi, memusnahkan, menghapuskan, melenyapkan segala eksistensi.
Nihilisme adalah sebuah pandangan filosofis yang sering dihubungkan dengan Friedrich Nietzsche yang mengatakan bahwa dunia ini, terutama manusia di dunia ini tidak memiliki suatu tujuan. Dalam medan konsep pemikiran Nietzsche, nihilisme merupakan syarat untuk menjamin orisinalitas dalam berfikir dan berkreasi,  sehingga ia benar-benar bermakna. Istilah nihilisme pertama kali diperkenalkan oleh Ivan Turgenev dan diperkenalkan ke dunia filosofi oleh Friedrich Heinrich Jacobi (1743-1819).
Nihilisme sebagai runtuhnya seluruh nilai dan makna meliputi seluruh bidang kehidupan manusia. Seluruhbidang ini dapat dibagi menjadi dua: yaitu, keagamaan (termasuk moral) dan ilmu pengetahuan. Runtuhnya dua bidang ini membuat manusia kehilangan jaminan dan pegangan untuk memahami hidupnya, termasuk aku-nya. Singkatnya nihlisme mengantarkan manusia pada situasi kritis atau kepada hari yang menjadi “malam terus menerus”, karena seluruh kepastiannya runtuh[4].
Nietzsche memaklumkan situasi ini dengan berteriak-teriak: Tuhan sudah mati! Kita telah membunuhnya. Ucapan yang kemudian menjadi termasyhur ini dipakai Nietzsche untuk mengawali perang melawan setiap bentuk jaminan kepastian yang sudah mulai pudar. Jaminan kepastian yangpertama adalah Tuhan sebagaimana diwariskan oleh agama Kristen. Dan jaminan-jaminan kepastian lainny, menurut Nietzsche adalah model—model Tuhan seperti ilmu pegetahuan, prinsip-prinsip logika, rasio, sejarah kemajuan (progress). Untuk merumuskan runtuhnya dua macam jaminan kepastian itu Nietzsche cukup mengatakan dengan kalimat “Tuhan telah mati”. Dengan kata lain, paradigma seluruh krisis adalah “Tuhan sudah mati[5].
Menurut Nietzsche, dalam situasi ini tugas suatu pemikiran bukanlah menyerah pada nihilisme pasif yang merupakan hasil dari pemikiran bahwa kini interpretasi moral mengenai dunia sudah berakhir. Tugas pemikiran adalah mengembangkan nihilisme aktif yang ironis sekaligus kreatif, yang merumuskan nilai-nilai baru dan melipatgandakan interpretasi-interpretasi baru. Nietzsche adalah pemikir tentang pelbagai akhir, dan hal ini seharusnya dipahami, terutama dan pertama-tama, sebagai akhir dari interpretasi-duniawi Kristen beserta seluruh kaitan sosial, psikis dan filosofisnya-pun perlu ditambahkan bahwa Nietszhe, lewat pandangannya tentang interpretasi dan dunia yang berlangsung abadi, merupakan pemikir tentang cakrawala dunia yang tanpa batas akhir[6].
2.      Kehendak untuk berkuasa
Dalam bukunya Beyond Good and Evil Nietzsche menyebutkan bahwa hakikat dunia adalah kehendak untuk berkuasa. Dalam The Genealogy af Morals dikatakan bahwa hakikat hidup adalah kehendak untuk berkuasa. Lagi, dalam The Will to Power ia menyebutkan bahwa hakikat terdalam dari ada (being) adalah kehendak untuk berkuasa[7]. Singkatnya, kehendak untuk berkuasa adalah hakikat dari dunia, hidup dan ada. Kehendak untuk berkuasa adalah hakikat dari segala-galanya. Kehendak untuk berkuasa, Nietzsche tidak bermaksud mengajukan provokasi politik.
            Kehendak untuk berkuasa adalah titik pusat dari filsafat Nietzsche. Dalam buku Aporisma-nya, ia menemukan kehendak untuk berkuasa, berkarya dalam segala tingkah laku dan penilaian manusia. Dalam Zarathustra, ia mengungkapkan bahwa kehendak untuk berkuasa merupakan motif dasar dan menegaskan bahwa kehendak itu terdapat pada semua makhluk hidup[8].
            Kalau kehendak untuk berkuasa merupakan hakikat dari dunia, hidup dan ada, ini berarti bahwa dasar dari segala sesuatu merupakan dinamisme yang masih berada dalam situasi khaos. Nietzsche menyimpulkan bahwa kemanusian didorong oleh suatu kehendak untuk berkuasa. Semua tindakan kita berasal dari kehendak ini.
3.      Ubermensch
Dilihat dari bahasanya, uber pada ubermensch dapat diartikan sebagai : sangat terlalu baik (over-goodness), terlalu sangat penuh (over-fullness), abadi (over-time), di atas jenis (over-kind), berlebihan (over-wealth), di atas pahlawan (over-hero), mabuk (over-drink). Manusia adalah sesuatu yang harus dilampaui, manusia yang mengatasi dirinya dan berkedudukan sebagai manusia unggul[9].
Uber pada Ubermensch mempunyai peran yang menentukan dalam membentuk keseluruhan makna ubermensch, dimana penekanan penting di sini ada pada kehendak untuk berkuasa sebagai semangat untuk mengatasi atau motif-motif untuk mengatasi diri[10].
Kata Ubermensch apabila diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dalah superman atau manusia super. Istilah ini berarti tingkat kemanusiaan yang jauh lebih tinggi daripada tinggkat kemanusiaan yang ada, dan menjadi tumpuan akhir cita-cita dan tujuan evolusi[11]. Akan tetapi seorang komentator Nietzsche, Walter Kaufman menerjemahkannya menjadi overman atau manusia atas[12]. Dengan konsep ini, dia sedang berbicara dan berharap mengenai masa depan dan meramal manusia masa depan. Ajaran Nietzsche tentang Ubermensch diperkenalkan lewat mulut tokoh Zarathustra[13] yang merupakan pembukaan dari bukunya Also Sprach Zarathustra. Bagi Nietzsche, kebutuhan orang yang paling mendesak adalah soal pemaknaan. Dia melihat bahwa nilai-nilai yang diwariskan oleh kebudayaan Barat sampai pada saat itu telah runtuh disebabkan oleh jaminan-jaminan yang dianggap seolah-olah telah ada, oleh karena itu melalui tokoh Zarathustra ia mengajarkan nilai tanpa jaminan kepada semua orang dan nilai ini tidak lain adalah Ubermensch. Maka Ubermensch adalah cara manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri tanpa berpaling dari dunia dan menengok keseberang dunia[14].
Ajaran tentang Ubermensch mempunyai hubungan dengan konsep semangat untuk berkuasa. Makna terbesar dunia bagi Nietzsche terletak pada Ubermensch dan untuk mencapai makna terbesar itu, orang harus selalu menjadi jembatan menuju Ubermensch. Orang akan menjadi jembatan menuju Ubermensch apabila seluruh hidupnya dijiwai semangat untuk berkuasa. Ini berarti bahwa orang harus selalu siap mengatasi naluri-naluri kebinatangannya dan mengatur hidupnya sedemikian rupa sehingga dia terus menerus mendapatkan pengalaman akan bertambahnya kekuasaan.
4.      Tuhan telah mati
Nietzsche adalah filsuf unik yang berpikir secara unik dan menyampaikannya secara unik pula. Keunikannyalah yang membuat dia menjadi begitu istimewa bagi dunia filsafat. Pemikirannya tak pernah dapat dilepaskan dari latar belakang kehidupannya. Bahkan, tanpa ragu-ragu dia banyak bercerita tentang kehidupannya di dalam tulisannya. Selain itu, cara penyampaian filsafatnya yang menggunakan teknik sastra menjadi hal yang baru di dalam dunia filsafat yang selama ini selalu memakai obyektivitas dan kebakuann bahasa sebagai hal yang utama. Bagi Nietzsche kebenaran yang bersifat jamak hanya bisa tersampaikan lewat sastra. Artinya, penafsiran akan suatu kebenaran akan selalu plural tidak pernah tunggal.
Dengan mengutip seluruh aforismenya Nietzsche yang berjudul “Orang Gila”. Dibawah ini kita akan menemukan kegilaan Nietzsche. Di dalam ceritanya, seseorang yang gila datang ke sebuah kerumunan dan berteriak-teriak mengenai kematian Tuhan.
Inilah kisah panjang bagaimana Nietzsche harus memaklumkan kematiaan Tuhan pada khalayak orang-orang yang masih menggenggam keyakinan mereka akan Tuhan. Tepatlah jika Nietzsche memberi judul aforisme ini degan Orang Gila. Kegilaan ini tidak hanya terasa dari kontras antara sikap Nietzsche dengan khalayak. Kegilaan juga tampak dalam kontras antara sikap baru Nietzsche sang pembunuh Tuhan dan sikap lama Nietzsche sang calon pendeta yang sangat religius. Orang yang membunuh Tuhan ini adalah orang yang pada masa remajanya pernah berlutut khidmat di depan altar untuk menerima sakramen-sakramen dari Gereja. Salah satu Perilaku saleh[15].
Tidakkah kamu telah mendengar seorang gila yang menyalakan lentera di pagi hari yang cerah, berlari menuju tempat kerumunan, dan terus-menerus berteriak: “ Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!” Ketika banyak orang yang tidak percaya pada Tuhan berdiri di sekelilingnya kemudian, dia mengundang gelak tawa. Apakah dia orang yang hilang? Tanya seseorang. Apakah dia telah tersesat seperti anak kecil? Tanya yang lainnya. Atau dia sedang bersembunyi? Apakah dia takut pada kita? Apakah dia orang yang baru saja mengadakan pelayaran? Seorang perantau? Maka mereka saling bertanya sinis dan tertawa.
Orang gila itu melompat ke tengah kerumunan dan menatap mereka dengan mata tajam. “Ke mana Tuhan?” dia berteriak: “Aku akan menceritakan pada kalian, Kita telah MembunhNya  Kalian dan aku. Kita semua adalah pembunuhnya Tuhan sudah mati. Tuhan terus mati”
“aku telah datang terlalu awal.” Dia kemudian mengatakan: “waktuku belum datang. Peristiwa besar ini masuh terus berjalan, masih berkeliaran; ini belum mencapai telinga-teling manusia”
Telah diceritakan lebih lanjut pada hari yang sama orang gila itu memaksa masuk ke dalam beberapa gereja dan di sana menyanyikan requiem aeternam Deo[16] (Istirahat kekal bagi Tuhan). Setelah keluar dan diminta pertanggung jawaban, dia hanya selalu menangkis dan berkata, “apalagi gereja-gereja ini kalu bukan makam dan nisan-nisan bagi Tuhan?
   Nietzsche menghendaki revolusi dan rekonstruk besar-besaran terhadap nilai yang ada. Revolusi ini sampai pada klimaks-nya ketika ia si orang gila berteriak bahwa Tuhan telah mati dan kita semua sebagai pembunuhnya kepada orang-orang yang dianggapnya atheis yang sudah tidak mempecayai Tuhan apapun. Bukan berarti Nietsche sama sekali mengngkari keberadaan Tuhan, “ocehan” ini hanya sebatas “letusan” emosional dari revolusi nilai baru yang diinginkan Nietzsche. Ketika Tuhan telah mati, lantas bagaimana kita menyusun ulang kekosongan nilai kita? disinilah muncul sang pahlawan yang dinanti-nanti yaitu Ubermensch[17].
5.      Kembalinya segala sesuatu
Eternal Recurrence (Kembalinya Yang Sama secara Abadi-Die ewige wiederkehr des Gleichen). Konsep ini diambil oleh Nietzsche dari salah sebuah pemikiran tokoh Yunani Kuno; Heraiklitos. Ajarannya adalah dimana dunia ini dengan segala kebaikan dan keburukannya, keluhuran dan kenistaannya, keagungan dan kekerdilannya, akan hancur dan kemudian akan muncul kembali dengan segala detailnya secara persis sama berkali-kali hingga tak berhingga. Hal ini bagi Nietzsche agak ‘menjijikkan’; karena orang yang paling rendah, termasuk dirinya sendiri akan muncul kembali dalam dunia yang sama[18].
Teori ini amat erat kaitannya dengan penolakan Nietzsche terhadap kenyataan transenden yang melampaui dunia ini. Dunia ini, senantiasa menjadi, dan tak ada suatu ada yang berada di luar peroses itu sebagai tujuannya. Misalnya, konsep monoteisme Tuhan. Dunia ini senantiasa menjadi (Werden), dan itak ada suatu ada (Sein) yang berada di luar proses sebagai tujuannya. Yang secara abadi kembali adalah ‘yang sama’ dan hal ini sekurangnya memiliki dua arti. Pertama, tidak ada Allah pencipta, tidak ada Sein yang kreatif di luar dunia ini. karena itulah segalanya “kembali”. Secara sama. Ide tentang peristiwa untuk tajk terulangi, di hadapan Nietzsche, tak kurang dari pengakuan diam-diam terhadap ide Allah pencipta. Kedua, tidak ada kebakaan pribadi yang melampaui dunia ini (surga, neraka). Mereka abadi dalam kembalinya secara terus menerus. Segala sesuatu adalah imanensi belaka, dan manusia atas adalah “Pengata-Ya” (Ja-Sager) yang berani dengan suka cita menerima dunia ini apa adanya, tanpa melarikan diri pada dunia transenden. Akhirnya, dengan penolakan kerasnya pada transendensi, teori ini juga merupakan sebuah atiesme radikal dari pihak Nietzsche.
6.      Nietzsche dan pengaruhnya
Nietzsche telah banyak mengilhami para filsuf Barat untuk melakukan kritik terhadap perkembangan kebudayaan Barat dan asumsi-asumsinya. Dikalangan para filsuf Jerman, Martn Hedegger merupakan flsuf pertama yang mengkaji pemikiran Netzsche secara sistematis. Tulisannya tentang Nietzsche masih menjadi bahan kajian dikalangan para post-strukturalis dan post-modernis. Filsuf Jerman lainnya yang mencari ilham dari Nietzsche adalah Karl Jaspers.
            Gema paling kuat bergaung di Prancis, di mana katolikisme mengakar paling kuat. Di sana Nietzsche menjadi sangat populer dikalangan kaum muda yang dikenal sangat sinis terhadap agama. Dia tampil sebagai simbol pemberontakan terhadap berbagai kemapanan dogmatis terutama dogmatisme keagamaan, sedangkan dikalangan para filsuf, pengaruh pemberontakannya tampak jelas dikalangan filsuf eksistensialis seperti Albert Camus dan Jean Paul Sartre. Dua pemikir kontemporer Prancis yang menjadi penafsir utama pemikiran Nietzsvhe adalah Michel Foucault dan Jacques Derrida yang sering dihubungkan dengan post-strukturalismme, post-modernisme.
            Disamping para filsuf Barat, Nietzsche juga megilhami seoang filsuf penyair muslim yang menjadi pengagum sekaligus pengkritik Nietzsche. Dia adalah Muhammad Iqbal.
7.      Alasan dalam pemilihan tokoh
Menurut saya, Nietzsche adalah sosok yang begitu dalam dan sepektakuler bagi diri saya. Selain Nietzsche berasal dari keluarga yang penuh dengan ketaatan, Nietsche mampu berbeda dan bahkan perbedaannya sangat jauh yang membuatnya jauh sekali dari apa yang diharapkan keluarganya. Ketertarikan saya terhadap filsuf ini adalah dengan buah pemikirannya tentang Ubermensch, di mana Nietzsche mengatakan “beranilah berkata ia pada hidup yang penuh chaos ini” .
Rasa kagum saya terhadap filsuf ini begitu luar biasa meskipun para filsuf lainnya juga hebat dalam berfikir. Nietzsche bagi saya sudah dianggap sebagai guru dan yang telah mempengaruhi hidup saya selama ini, yaitu bangkit dari hidup yang penuh dengan ketakukatan menuju keberanian untuk menghadapi semuanya. Karena yang paling mengesankan dalam hidup Nietzsche adalah tak pernah menyerah dalam berfikir sehingga dalam hidupnya sering berkontemplasi, yang paling mengerikan dan membuat semangat diri saya adalah dia terus berfikir yang pada akhirnya dia menderita penyakit jiwa selama 11 tahun. Sehingga di saat karya dan namanya sudah termasyhur dia tidak tahu dan saat ibunya meninggal-pun ia juga tidak tahu apa-apa lagi.

Daftar Pustaka
Murtiningsih, Wahyu. 2012. Para Filsuf dari Plato Sampai Ibnu Bajjah. Jogjakarta. IRCiSod
Sunardi, St. 1996. Nietzsche. Yogyakarta. LKis
Beilharz, Peter. 2005. Teori-teori Sosial Observasi Kritis Terhadap Para Pilosof Terkemuka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bagus, Loren. 2005. Kamus Filsafat.. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Neusch, Marcel. 2004. “Friedrich Netzsche (1844-1900); Lawan Tangguh Kristiani” dalam  Damanhuri Fattah (ed.) 10 Filsuf Pemberontak Tuhan. Yogyakarta. Panta Rhei Books
Hardiman, F. Budi. 2007. Filsafat Barat Modern. Jakarta: PT Gramedia.


[1] Wahyu Murtiningsih. Para Filsuf dari Plato Sampai Ibnu Bajjah. Hlm. 165-166
[2] Ibid,..
[3] St. Sunardi. Nietzsche. Hlm. 17
[4] Ibid,..
[5] Ibid,.. 35-36
[6] Peter Beilharz. Teori-teori Sosial Observasi Kritis Terhadap Para Pilosof Terkemuka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Hlm. 288.
[7] If the innermost essence of being is will to power, if pleasure is every increase of power, displeasure every feeling of not being able to resist or dominate; may we not then posit pleasure and displeasure as carninal facts? 693
[8] Kaufman, 1967: 510
[9] Kaufmann, 1950:272
[10] Sunardi, 1999:93
[11] Loren Bagus. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2005. Hlm. 1056
[12] F.Budi Hardiman, Op.cit, hal: 274
[13] Zarathustra di sini adalah Zarathustra versi Nietzsche dan bukan Zarathustra (Soroaster) historis yang hidup di Persia 2500 tahun yang lalu.
[14] St. Sunardi, Op.cit, Hlm. 143-144
[15] St. Sunardi, Op.cit, Hlm. 39
[16] Marcel Neusch , “Friedrich Netzsche (1844-1900); Lawan Tangguh Kristiani” dalam  Damanhuri Fattah (ed.) 10 Filsuf Pemberontak Tuhan, Panta Rhei Books, Yogyakarta, 2004
[18] http://filsafat.kompasiana.com/2013/05/01/namanya-nietzsche-551822.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar