Kamis, 02 Januari 2014

THOMAS AQUINAS DAN PEMIKIRANNYA

Biaografi Thomas Aquinas
Thomas Aquinas lahir pada tahun 1225 di Italia. Ia adalah seorang filsuf dan ahli teologi ternama dari Italia. Ia menjadi terkenal terutama karena dapat membuat sintesis dari filsafat Aristoteles dan ajaran Gereja Kristen. Sintesisnya tersebut termuat dalam karya utamanya, summa Theologiae (1273). Ia dikenal sebagai ahli teologi utama orang Kristen, bahkan dianggap sebagai orang suci oleh Gereja Katolik dan memiliki gelar Santo[1].
Ayah Aquinas ialah Pangeran Landulf dari Aquino, seorang penganut Kristen katolik yang saleh. Itulah sebabnya pada umur lima tahun, Aquinas diserahkan ke Biara Benedictus di Monte Cassino untuk dibina agar kelak menjadi seorang biarawan. Setelah sepuluh tahun berada di Monte Cassino, Aquinas dipindahkan ke Naples untuk menyelesaikan pendidikan bahasanya. Selama disana, ia tertarik pada pekerjaan kerasulan gereja dan berusaha pindah ke Ordo Dominikan, suatu ordo yang sangat berperan pada abad itu. Sayang, keinginannya tidak direstui oleh orang tuanya, sehingga ia harus tinggal di Roccasecca selama lebih dari setahun. Akan tetapi tekat Aquinas begitu bulat. Akhirnya, orang tuanya menyerah kepada keinginannya dan pada tahun 1245, Aquinas resmi menjadi anggota Ordo Dominikan[2].
Sebagai anggota Ordo Dominikan, Thomas dikirim belajar ke Universitas Paris, sebuah Universitas terkemuka pada masa itu. Ia belajar disana selama tiga tahun dan disnalah ia berkenalan dengan Albertus Magnus, orang yang memperkenalkan filsafat Aristoteles kepadanya. Ia menemani Albertus Magnus memberikan kuliyah di Stadium Generale di Cologne, Prancis, pada tahun 1248-1252[3]. Selanjutnya dia aktif menjadi biarawan di beberapa biara Dominican, Roma, Italia selama kurang lebih sepuluh tahun atau hingga sekitar tahun 1269 M.
St. Thomas Aquinas, seorang filsuf dan teolog yang terkenal pada era abad pertengahan, meninggal dunia ketika berusia sekitar lima puluh tahun, tepatnya pada tanggal 7 Maret 1274 M. Pemikirannya tidak lenyap seiring dengan kepergiannya dari dunia fana, tetapi tetap melegenda dan senantiasa massih digunakan sebagai rujukan bahkan pada masa kini[4].
Pemikiran St. Thomas Aquinas
Dibawah ini kita akan memandang beberapa pokok filosofis yang boleh dianggap penting dalam pemikirannya. Diantaranya adalah :
a.       Penciptaan
Pada Thomas terdapat suatu ajaran yang seimbang tentang penciptaan. Ajarannya berkisar pada konsep “partisipasi” atau hal mengambil bagian. Gagasan itu berasal dari Plato serta Agustinus dan memainkan peranan sentral dalam seluruh metafisika Thomas. Pendiriannya adalah bahwa sesuatu yang diciptakan mengambil bagian dalam adanya Allah. Itu berarti bahwa segala sesuatu yang diciptakan menurut adanya tergantung pada Allah. Ia mempertahankan pula bahwa Allah sama sekali bebas dalam penciptaan dunia. Dunia tidak mengalir dari Allah bagaikan air yang mengalir dari sumbernya, seperti difikirkan filsuf-filsuf neoplatonis dan Al-Farabi dalam ajaran mereka tentang filsafat emanasinya[5]. Allah menjadikan ciptaan-ciptaan dari ketiadaan (ex nihilo).
Dikarenakan jagad raya diciptakan Allah, maka jagad raya bukan Allah, meskipun memang mendapat bagian dari “ada” Allah. Partisipasi ini bukan secara kuantitatif, artinya: bukan seolah-olah tiap makhluk mewakili sebagian kecil tabiat ilahi. Bahwa makhluk berpartisipasi dengan Allah berarti ada sekedar analogia, sekedar kesamaan atau kiasan antara Allah dan makhluk-Nya.
b.      Hilemorfisme
Thomas mengambil alih dan menyempurnakan ajaran Aristoteles mengenai materi dan bentuk. Segala sesuatu yang bersifat jasmani terdiri dari materi pertama dan bentuk. Materi dan bentuk tidak merupakan dua ”benda”, melainkan dua prinsip matafisis yang sama sekali terarah yang satu kepada yang lain. Dua prinsip ini mengkonstituir atau mengadakan semua benda jasmani.  Karena adanya kedua prinsip ini, perubahan jasmani dapat diartikani juga. Perubahan terjadi jika satu bentuk diganti dengan bentuk lain, tetapi materi tetap saja. Aliran hilemorfisme dapat juga mengartikan individuasi. Dengan individuasi dimaksudkan kenyataan bahwa sesuatu benda merupakan sesuatu yang individual: bunga mawar ini dan bunga mawar itu. Individuasi itu dimungkinkan oleh materi[6].
Disamping struktur materi-bentuk yang terdapat pada semua makhluk jasmani, masih ada struktur lain, yaitu “essential-“existentia”: esensi (hakekat) dan eksistensi (adanya). Struktur esensi-eksistensi itu terdapat pada segala sesuatu yang diciptakan. Dengan esesnsi ditunjukan apanya sesuatu (what is). Dan dengan eksistensi dimaksudkan sesuatu ada (that it is). Maka dari itu menurut Thomas malaikat-malaikat tidak mempunyai struktur bentuk-materi (karena bukan makhluk jasmani). Tetapi struktur esensi-eksistensi juga terdapat pada mereka (karena diciptakan). Hanya Allah tidak mempunya esensi-eksistensi. Allah adalah sama sekali tunggal, bukan majmuk. Ciptaan- ciptaan mempunyai adanya. Tetapi Allah adalah adanya (essesubsistens)[7].
c.       Pengenalan mengenai Allah
Thomas mengakui rasio insani untuk mengenal adanya Allah. Namun adanya Allah tidak dapat dikenal secara langsung, tetapi hanya melalui ciptaan-ciptaan. Oleh karena itu Thomas menolak bukti ontolohis yang dahulu diusulkan oleh Anselmus. Dalam Summa Theologiae Thomas member lima bukti untuk adanya Allah yang disebutnya “lima jalan” (quinque viae). Bukti yang pertama berusaha memperbaiki suatu bukti yang sudah terdapat pada Aristoteles. Bukti ini bertitik tolak dari adanya gerak atau perubahan dalam dunia jasmani. Setiap gerak atau perubahan mesti mempunyai sebabnya. Tetapi dengan mencari sebabnya kita tak dapat terus sampai tak terhingga. Dari sebab itu kita mesti menerima suatu penyebab pertama yang tidak disebabkan atau suatu penggerak yang tidak digerakkan (unmoved mover). Penyebab pertama atau penggerak itu adalah Allah[8].
Untuk lebih jelasnya lima jalan itu adalah sebagai berikut:

1.      Adanya gerak di dunia mengharuskan kita menerima bahwa ada Penggerak Pertama, yaitu Allah. Menurut Thomas, apa yang bergerak tentu digerakkan oleh sesuatu yang lain. Seandainya sesuatu yang digerakkan itu menggerakkan dirinya sendiri, maka yang menggerakkan diri sendiri itu harus juga digerakkan oleh sesuatu yang lain, sedang yang menggerakkan ini juga harus digerakkan oleh sesuatu yang lain lagi. Gerak menggerakkan ini tidak dapat berjalan tanpa batas. Maka harus ada penggerak pertama. Penggerak Pertama ini adalah Allah.
2.      Di dalam dunia yang diamati ini terdapat suatu tertib sebab-sebab yang membawa hasil atau yang berdayaguna. Tidak pernah ada sesuatu yang diamati yang menjadi sebab yang menghasilkan dirinya sendiri. Karena sekiranya ada, hal yang menghasilkan dirinya itu tentu harus mendahului dirinya sendiri. Hal ini tidak mungkin, sebab yang berdaya guna, yang menghasilkan sesuatu yang lain itu, juga tidak dapat ditarik hingga tiada batasnya. Oleh karena itu, harus ada sebab berdayaguna yang pertama. Inilah Allah.
3.      Di dalam alam semesta terdapat hal-hal yang mungkin “ada” dan “tidak ada”. Oleh karena itu semuanya itu tidak berada sendiri, tetapi diadakan, dan oleh karena itu semuanya itu juga dapat rusak, maka ada kemungkinan semuanya itu “ada”, atau semuanya itu “tidak ada”. Tentu tidak mungkin semuanya itu senantiasa “ada”. Sebab apa yang mungkin “tidak ada” pada suatu waktu memang tidak ada. Karena segala sesuatu memang mungkin “tidak ada”, maka pada suatu waktu mungkin saja tidak ada sesuatu. Jikalau pengandaian ini benar, maka sekarang juga mungkin tidak ada sesuatu. Padahal apa yang tidak ada hanya dapat dimulai berada jikalau diadakan oleh sesuatu yang telah ada. Jikalau segala sesuatu hanya mewujudkan kemungkinan saja, tentu harus ada sesuatu yang “adanya” mewujudkan suatu keharusan. Padahal sesuatu yang adanya adalah suatu keharusan, “adanya” itu dapat disebabkan oleh sesuatu yang lain, atau berada sendiri. Seandainya sesuatu yang adanya adalah suatu keharusan disebabkan oleh sesuatu yang lain, sebab-sebab itu tak mungkin ditarik hingga tiada batasnya. Oleh karena itu, harus ada sesuatu yang perlu mutlak, yang tak disebabkan oleh sesuatu yang lain. Inilah Allah.
4.      Diantara segala yang ada terdapat hal-hal yang lebih atau kurang baik, lebih atau kurang benar, dan lain sebagainya. Apa yang disebut kurang baik, atau lebih baik, itu tentu disesuaikan dengan sesuatu yang menyerupainya, yang dipakai sebagai ukuran. Apa yang lebih baik adalah apa yang lebih mendekati apa yang terbaik. Jadi, jikalau ada yang kurang baik, yang baik dan yang lebih baik, semuanya mengharuskan adanya yang terbaik. Demikian juga halnya dengan yang kurang benar, yang benar dan yang lebih benar dan lain sebagainya. Dari ini semua dapat disimpulkan, bahwa harus ada sesuatu yang menjadi sebab dari segala yang baik, segala yang benar, segala yang mulia, dan sebagainya. Yang menyebabkan semuanya itu adalah Allah.
5.      Segala sesuatu yang tidak berakal, misalnya: tubuh alamiah, berbuat menuju kepada tujuannya. Hal ini tampak dari caranya segala sesuatu yang tidak berakal tadi berbuat, yaitu senantiasa dengan cara yang sama untuk mencapai hasil yang terbaik. Dari situ terlihat bahwa perbuatan tubuh bukanlah perbuatan kebetulan, semuanya diatur oleh suatu kekuatan, semuanya itu menuju pada “akhir”. Jika tidak diarahkan oleh suatu “tokoh yang berakal”, maka semua perbuatan tubuh tidak mungkin memperoleh ilmu pengetahuan. Kekuatan yang mengarahkan itu adalah Allah[9].

d.      Manusia
Tentang manusia juga Thomas menyempurnakan ajaran Aristoteles. Ia sangat menekankan kesatuan manusia Manusia adalah satu subtansi aja. Oleh karena itu jiwa manusia tidak merupakan subtansi lengkap, sebagaimana dipikirkan oleh Plato. Jiwa adalah bentuk yang menjiwai materi, yaitu badan. Tetapi jiwa menjalankan aktivitas- aktivitas yang melebihi yang badani belaka, yaitu berpikir dan berkehendak. Itulah aktivitas- aktivitas rohani. Karena aktivitasnya bersifat rohani, jiwa sendiri harus bersifat rohani pula. Maka dari itu setelah manusia mati jiwanya hidup terus. Dengan demikian Thomas mempertahankan kebakaan jiwa, melawan pendirian Aristoteles. Tetapi ia mengakui pula bahwa jiwa sesudah kematian hidup terus sebagai bentuk, tetap terarah pada badan. Itu cocok dengan ajaran Kristiani mengenai kebangkitan badan, biarpun seorang filsuf atas dasar rasio insani belaka tidak mampu bembenarkan ajaran kristiani tersebut.
Kesimpulan
Abad Pertengahan bagi Barat merupakan abad gelap bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Namun, dalam suasana “gelap” tersebut Thomas Aquinas mampu menyumbangkan pemikiran ilmiah yang dikemas dengan pemikiran teologi. Sebagian besar karyanya bersifat teologis dengan sintesa filosofis. Thomas mendasarkan filsafatnya atas prinsip-prinsip Aristotelisme. Dia selalu berusaha untuk mengetahui pendapat Aristoteles secara teliti. Disamping itu, dia juga menggunakan sumber lain, yaitu karangan-karangan neo-platonistis (Pseude-Dionysios), Augustinus, Boetius, karangan-karangan Arab (terutama Ibn Sina dan Ibn Rushd) dan karya-karya Yahudi (Maimonides). Dia menggunakan seluruh tradisi filosofis dan teologis. Thomas menggarap semua inspirasi itu menjadi suatu sintesa yang betul-betul patut dikagumi.
Diantara pokok pemikirannya St. Thomas Aquinas yang dapat pemakalah sajikan adalah :
1.      Penciptaan
2.      Pengenalan mengenai Allah
3.      Hilemorfisme
4.      Manusia




Daftar Pustaka
Hartoko, Dick. 1986.  Kamus Populer Filsafat. Jakarta: CV Rajawali
Murtiningsih,  Wahyu. 2012. Para Filsuf Dari Plato Sampai Ibnu Bajjah. IRCiSoD. Jogjakarta
Hadiwijono, Harun. 1989. Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Yogyakarta: Kanisius
K. Bertens. 1975. Ringkasan Sejarah Filsafat Barat. Kanisius. Yogyakarta
Nasution, Hasyimsah. 2005. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
http://afidburhanuddin.wordpress.com/2012/11/05/filsafat-thomas-aquinas/




[1] Wahyu Murtiningsih. 2012. Para Filsuf Dari Plato Sampai Ibnu Bajjah. IRCiSoD. Jogjakarta. 68
[2] Ibid. 69
[3] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Yogyakarta: Kanisius, 1989, cet. Ke-5,
hlm. 104
[4] http://afidburhanuddin.wordpress.com/2012/11/05/filsafat-thomas-aquinas/
[5] Hasyimsah Nasution, MA. 2005. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. hlm. 35-38.

[6] K. Bertens. 1975. Ringkasan Sejarah Filsafat Barat. Hlm 37
[7] Ibid…, 38
[8] K. Bertens. 1975. Ringkasan Sejarah Filsafat Barat. 37
[9] Harun Hadiwiono, op.Cit, hlm. 108

Tidak ada komentar:

Posting Komentar